Asimilasi Terpidana Mafia Tambang Diduga Sarat Intervensi dan Kerjasama Gelap

Ilustrasi
Dengarkan Suara

BeritaRakyat.Co,.Kendari – Aliansi Pemuda dan  Pelajar (AP2) Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali mengecam pemberian asimilasi terhadap dua terpidana mafia tambang, Andi Ardiansyah dan juga Agus.

Pemberian asimilasi kedua Napi tersebut dinilai cacat prosedur, sarat konflik kepentingan, serta berpotensi melibatkan praktik suap terselubung.

Andi Adriansyah diketahui merupakan keponakan Gubernur Sulawesi Tenggara terlibat dalam kasus pertambangan ilegal yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.

Lebih ironis, bahkan kata dia, hingga saat ini mereka belum menyelesaikan pembayaran uang pengganti senilai Rp45 miliar sebagaimana diamanatkan oleh putusan pengadilan.

“Secara hukum, pemberian asimilasi kepada dua terpidana ini adalah pelanggaran terbuka terhadap Permenkumham Nomor 43 Tahun 2012 dan peraturan terbaru Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022. Di dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa narapidana yang masih memiliki kewajiban pidana tambahan seperti uang pengganti, tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan hak integrasi seperti asimilasi,” kata Fardin kepada awak media, Jumat (30/05/2025).

BACA JUGA :  ASR Sampaikan Komitmennya di Dunia Pendidikan, Melalui Program PENGGARIS

Ia menjelaskan dalam Permenkumham No. 7 Tahun 2022 Pasal 11 ayat (1) huruf f secara eksplisit mensyaratkan bahwa narapidana harus telah membayar lunas denda dan uang pengganti sebelum mendapatkan asimilasi.

“Ini bukan opini, ini hukum positif. Jadi jika mereka tetap dilepas jelas ada pelanggaran sistemik,” ungkapnya.

Selain itu, AP2 menyoroti fakta bahwa proses asimilasi terhadap keduanya dijaminkan oleh PT Vimi Kembar Grup, sebuah perusahaan swasta yang disebut memiliki perjanjian kerja sama dengan Rutan Kendari. Kepala Rutan mengakui hal ini namun tidak menjelaskan bentuk kerja samanya.

“Kami curiga, ini bukan kerja sama biasa. Jangan-jangan ini bentuk kolusi terselubung untuk meloloskan narapidana kakap. Apalagi jika pihak swasta berperan sebagai penjamin, ini membuka ruang penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi,” ungkapnya.

BACA JUGA :  Soal Dugaan Pengeroyokan Mahasiswa UMK, Begini Penjelasan SPBU Tandean Baruga

Selain itu, Fardin juga menyinggung potensi pelanggaran terhadap UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang mewajibkan setiap pejabat negara untuk bebas dari konflik kepentingan dalam menjalankan tugas.

Untuk itu ia menegaskan akan mengawal persoalan. Minta agar diskon tahanan yang diberikan terhadap dua Napi tersebut di evaluasi kembali.

“Jika hukum dipermainkan oleh kekuasaan dan perusahaan bisa menjamin penjahat, maka rakyat harus melawan. Ini bukan sekadar dua orang bebas, ini preseden buruk untuk masa depan hukum Indonesia,” tutupnya.

ODEK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *