BeritaRakyat.Co,.Kendari – Pemberian Asimilasi kepada tiga Narapidana (Napi) kasus korupsi oleh Direktorat Jenderal (Ditjenpas) Pemasyarakatan Wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra), menimbulkan reaksi publik dan pertanyaan, satunya Aliansi Pemuda dan Pelajar (AP2) Sultra.
Ketua umum AP2 Sultra, Fardin Nage mengatakan pemberian asimilasi terhadap Andi Adriansyah yang juga ponakan Gubernur Sultra Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka, La Ode Gomberto dan juga Agus perlu ditinjau ulang.
Sebab langkah tersebut kata dia, sebagai bentuk penghinaan terhadap akal sehat publik dan sistem hukum yang semestinya menjunjung prinsip keadilan, transparansi, dan kesetaraan di hadapan hukum.
“Kami melihat bahwa keputusan ini tidak lahir dari prinsip pembinaan yang sehat, tetapi lebih sebagai bentuk kompromi terhadap kekuasaan. Ini adalah praktik kroniisme yang dibiarkan tumbuh di tubuh lembaga hukum,” kata Fardin kepada awak media, Rabu (28/05/2025).
Ia mengungkapkan tindak pidana korupsi yang dilakukan La Ode Gomberto jelas merupakan kejahatan luar biasa. Pemberian asimilasi kepada terpidana semacam itu, tanpa transparansi dan akuntabilitas, menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih masih diperlakukan istimewa. Demikian pula dua kerabat Gubernur Sultra yang sedang ditahan karena perkara serius di sektor tambang.
“Kasus mereka bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bagian dari skema jahat yang merusak tata kelola sumber daya alam kita. Pemberian asimilasi di tengah proses penegakan hukum mengirim pesan buruk bahwa hukum bisa ditekuk demi relasi kekuasaan,” tegasnya.
Terlebih lagi Undang-Undang Pemasyarakatan dan peraturan turunannya menurutnya tidak memberikan ruang longgar bagi narapidana kasus korupsi dan kejahatan lingkungan untuk mendapatkan asimilasi secara mudah. Apalagi jika prosesnya tertutup dan tidak partisipatif.
Asimilasi seharusnya menjadi wujud pembinaan yang berkeadilan, bukan instrumen untuk menyelamatkan elite yang sedang terjepit kasus hukum.
Menurut Fardin, praktik seperti ini merusak kredibilitas Ditjenpas dan memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap lembaga pemasyarakatan.
Untuk itu, ia menilai bahwa pemberian asimilasi terhadap tahanan yang terhubung dengan kekuasaan akan memperparah krisis moral di birokrasi, karena memberi contoh bahwa pelanggaran hukum bisa dinegosiasikan lewat jalur kekeluargaan atau koneksi politik.
“Kami mendesak Ditjenpas Wilayah Sultra untuk membuka kembali seluruh dokumen dan proses evaluasi asimilasi ini secara transparan kepada publik. Jika ditemukan pelanggaran atau penyimpangan prosedur. Maka asimilasi itu harus dibatalkan dan pejabat yang terlibat harus diperiksa secara administratif maupun etik,” pinta Fardin.
Lebih lanjut ia menegaskan, akan membangun gerakan demonstrasi untuk mendesak Ditjenpas Sultra agar meninjau kembali keputusan pemberian asimilasi terhadap tiga tahanan bermental Rampok tersebut, serta akan mengirim laporan resmi ke Komnas HAM, Ombudsman, dan KPK, agar kasus ini mendapat pengawasan dari lembaga yang lebih tinggi.
“Kami tidak ingin Sultra menjadi contoh buruk bagaimana keadilan bisa dibeli dan hukum menjadi alat kompromi elite,” pungkasnya
ODEK